Madilog – Tan Malaka

October 28, 2025

Madilog – Tan Malaka

Sebuah Karya Monumental yang Lahir dari Ancaman dan Kesunyian

Kehidupan seorang penulis seringkali dibayangkan penuh ketenangan di ruang kerja yang nyaman, dikelilingi tumpukan buku. Namun, salah satu karya filsafat terpenting Indonesia lahir dari kondisi yang jauh dari ideal: ancaman, kesunyian, dan nyaris kelaparan. Kitab itu adalah Madilog, buah pemikiran Tan Malaka yang ditulis saat ia bersembunyi dari kejaran polisi rahasia Jepang, Kempeitai, sambil secara aktif mempelajari kembali kondisi bangsanya setelah lebih dari 20 tahun terasing.

Dalam persembunyiannya yang sunyi, Tan Malaka melahirkan sebuah mahakarya yang menjadi fondasi cara berpikir baru bagi bangsa Indonesia. Madilog—sebuah akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—adalah panggilan untuk meninggalkan “logika mistika” dan beralih ke cara berpikir yang rasional, ilmiah, dan membumi. Buku ini bukan sekadar teori, melainkan senjata pemikiran yang ia yakini dapat membebaskan bangsa.

Artikel ini akan menjelajahi lima gagasan mengejutkan dan berdampak besar dari dalam kitab legendaris ini, yang lahir dari disiplin intelektual luar biasa di tengah situasi hidup dan mati.

1. Ditulis Sembunyi-sembunyi, Nyaris Kelaparan, dan Hampir Hilang

Kisah lahirnya Madilog adalah sebuah drama tersendiri. Buku ini ditulis di Rawajati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Jakarta, dalam kurun waktu delapan bulan dari 15 Juli 1942 hingga 30 Maret 1943. Selama masa persembunyian ini, ia tidak hanya menulis, tetapi juga “mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan.” Ia mendedikasikan sekitar 720 jam, atau tiga jam setiap hari, untuk merampungkan naskah fundamental ini.

Kondisinya jauh dari aman. Polisi Kempeitai bernama Yuansa sudah dua kali menggeledah “pondok” tempat tinggalnya. Beruntung, naskah Madilog dan karya lainnya, Gabungan Aslia, selamat karena ditulis dengan huruf yang sangat kecil dan disembunyikan di tempat yang tidak menarik perhatian. Bahaya tak hanya datang dari polisi; “bahaya kelaparan sudah mengintip,” tulisnya. Kondisi ini memaksanya berhenti menulis Gabungan Aslia karena kehabisan uang.

Naskah berharga ini menjadi teman setianya dalam pelarian. Madilog ikut bersembunyi ke Bayah, Banten, menemani perjalanannya saat mengantar romusha ke Jawa Tengah, dan bahkan hampir hilang saat ia ditangkap di Surabaya. Menyelesaikan sebuah karya filsafat yang begitu padat dan mendalam di bawah ancaman pedang Kempeitai dan bayang-bayang kelaparan menunjukkan disiplin intelektual yang nyaris mustahil.

2. “Jembatan Keledai”: Sistem Mengingat Rahasia Seorang Buronan

Sebagai seorang buronan politik selama lebih dari 20 tahun, Tan Malaka harus hidup nomaden dan ringan. Ia berulang kali kehilangan koleksi buku dan catatannya di Shanghai, Amoy, hingga Hongkong. Untuk mengatasi masalah ini, ia menciptakan sistem manajemen pengetahuan pribadinya yang unik, yang ia sebut “Jembatan Keledai” (dari bahasa Belanda, ezelbruggece).

Sistem ini adalah sebuah perangkat mnemonik di mana ide-ide kompleks dan data penting disandikan ke dalam kata-kata yang tampak tak berarti. Hanya Tan Malaka sendiri yang bisa mengurai sandi tersebut. Contohnya, untuk menganalisis kekuatan sebuah negara, ia menggunakan sandi “AFIAGUMMI”, di mana huruf A adalah singkatan dari Armament (persenjataan). Untuk sebuah teori ekonomi, ia memiliki sandi “ONIFMAABYCI AIUDGALOG”, yang bukanlah bahasa Sanskerta, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.

Metode ini memungkinkannya membawa “perpustakaan” di dalam kepalanya, tanpa perlu membawa setumpuk buku yang bisa disita polisi. Baginya, sistem ini adalah alat vital bagi seorang revolusioner.

“Saya anggap “jembatan keledai” itu penting sekali buat pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya?”

Metode mengingat ini bukan sekadar trik bertahan hidup; ia adalah wadah bagi gagasan-gagasan radikal yang akan ia tuangkan dalam Madilog, dimulai dengan serangannya terhadap cara berpikir yang ia anggap membelenggu bangsanya.

3. Menolak “Logika Mistika” dengan Pisau Bedah Logika

Inti dari filsafat Madilog adalah perlawanan terhadap apa yang disebut Tan Malaka sebagai “Logika Mistika”. Ini adalah cara berpikir yang meyakini bahwa rohani (gagasan atau roh) adalah yang utama dan ada sebelum zat (materi). Dalam kerangka Tan Malaka, “Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua.” Ia menolak gagasan bahwa dunia diciptakan dari “yang tidak ada” menjadi “ada” hanya lewat kata-kata.

Contoh utama yang ia bedah adalah kisah dewa matahari Mesir, Rah, yang konon menciptakan bumi dan langit hanya dengan mengucapkan kata “Ptah”. Tan Malaka membantah gagasan ini dengan pisau bedah logika dan sains. Menurutnya, hal itu bertentangan langsung dengan hukum-hukum alam yang sudah terbukti, seperti Hukum Evolusi (Darwin/Kant) yang menjelaskan bahwa alam semesta terbentuk melalui proses jutaan tahun, bukan dalam sekejap mata. Gagasan itu juga melawan Hukum Kekekalan Massa dan Energi (Dalton/Joule) yang menyatakan bahwa materi dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan, hanya bisa berubah bentuk.

Ia bahkan menyajikan sebuah trilema logis: Apakah Dewa Rah lebih kuat, sama kuat, atau lebih lemah dari hukum alam? Setiap kemungkinan menunjukkan absurditas, membuktikan bahwa gagasan penciptaan mistis tidak dapat dipertahankan secara rasional.

“Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun diluarnya tak pernah kita menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda. Dalam dongeng atau cerita memang kita cukup menjumpai kegaiban itu. Tetapi dalam 40 tahun belakangan ini saja, di antara 2.000.000.000 manusia itu belum pernah saya dengar satu makhluk yang bisa dengan kata saja menimbulkan seekor macan, jangankan lagi Bumi atau Bintang.”

4. Sains Bukanlah Sihir, Melainkan “Pikiran yang Tepat”

Bagi Tan Malaka, sains bukanlah domain eksklusif para akademisi di menara gading. Ia mendefinisikan sains dengan sangat jernih dan praktis sebagai sebuah cara berpikir yang bisa diakses oleh siapa saja. Ia merangkum esensi sains ke dalam tiga definisi utama:

  • Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.
  • Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti.
  • Sains, ialah simplification by generalisation, penyerderhanaan generalisasi.

Fondasi dari cara berpikir sains, menurutnya, adalah definisi. Tanpa definisi yang jelas, ilmu pengetahuan akan kacau balau. Ia bahkan menguraikan lima aturan ketat untuk membuat sebuah definisi ilmiah yang baik:

  1. Harus singkat, tetapi tidak terlalu luas atau terlalu sempit.
  2. Tidak boleh sirkular atau berputar-putar (menjelaskan kata dengan kata itu sendiri).
  3. Harus umum dan lebih dikenal daripada istilah yang sedang didefinisikan.
  4. Tidak boleh menggunakan metafora, ibarat, atau kata-kata gaib yang samar.
  5. Tidak boleh menggunakan kalimat negatif.

Dengan pendekatan sistematis ini, Tan Malaka “membumikan” sains, menunjukkannya bukan sebagai sihir, melainkan sebagai sebuah metode berpikir yang rigorus, jitu, dan dapat dipelajari oleh semua orang untuk memahami dunia secara nyata.

5. Kemerdekaan Sejati Bertumpu pada “Prajurit Pekerja”

Di luar filsafat dan sains, Madilog juga merupakan sebuah tesis politik yang tajam. Tan Malaka berargumen bahwa kemerdekaan sejati Indonesia hanya dapat direbut dan dipertahankan oleh satu kelas: kaum proletar industri, yang ia sebut sebagai prajurit pekerja atau pekerja-mesin.

Ia berpendapat bahwa sejarah telah membuktikan perjuangan yang hanya dipimpin oleh kaum intelektual tidak akan cukup. Runtuhnya pemberontakan PKI pada tahun 1927 menjadi bukti nyata bahwa tanpa basis kelas pekerja yang sadar dan terorganisir, setiap upaya merebut kemerdekaan akan sia-sia.

“Dua puluh tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu. Kini tiada kurang malah lebih yakin dari itu.”

Bagi Tan Malaka, di dunia modern, kekuatan industri yang berbasis sains dan teknologi adalah faktor penentu dalam setiap konflik. Kaum pekerja mesin inilah yang menjadi “tulang belakangnya ekonomi Indonesia”. Oleh karena itu, tujuan utama dari Madilog adalah mempersenjatai kelas ini dengan pandangan dunia yang materialis, dialektis, dan logis, agar mereka sadar akan kekuatan dan posisi historis mereka sebagai motor pembebasan bangsa.

Kesimpulan: Warisan Berpikir untuk Masa Depan

Madilog lebih dari sekadar buku; ia adalah monumen ketahanan intelektual dan sebuah cetak biru untuk revolusi cara berpikir. Ditulis dalam kondisi paling ekstrem, karya ini menjadi bukti bahwa pikiran yang tajam tidak dapat dibelenggu oleh ancaman fisik. Gagasan-gagasannya menantang kita untuk meninggalkan cara pandang takhayul dan membangun kemerdekaan di atas fondasi logika yang kokoh dan pengetahuan yang nyata.

Melihat kembali gagasan-gagasan ini, pertanyaannya bukanlah apakah pemikiran Tan Malaka masih relevan, tetapi seberapa jauh kita telah—atau belum—mewujudkan cara berpikir yang radikal, logis, dan membumi seperti yang ia perjuangkan?