Bagaimana Homo sapiens, yang dulunya hanya seekor hewan tak berarti di sudut Afrika, bisa mendominasi planet ini? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar sering kali tidak seperti yang kita duga. Buku “Sapiens: A Brief History of Humankind” karya Yuval Noah Harari menyajikan perspektif-perspektif mengejutkan yang membongkar mitos-mitos yang kita pegang teguh tentang sejarah. Artikel ini akan merangkum lima gagasan paling berdampak dan kontra-intuitif dari buku tersebut yang akan menantang cara Anda memandang sejarah, masyarakat, dan diri Anda sendiri.
——————————————————————————–
1. Kekuatan Terbesar Manusia Adalah Kemampuan Berimajinasi
Pemicu utama kebangkitan Homo sapiens bukanlah api atau perkakas, melainkan Revolusi Kognitif—munculnya kemampuan unik untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak ada secara fisik. Kemampuan untuk menciptakan dan memercayai fiksi inilah—seperti dewa, negara, hak asasi manusia, dan perusahaan—yang menjadi fondasi seluruh peradaban skala besar kita.
Kemampuan ini membedakan kita secara fundamental dari hewan lain. Simpanse, kerabat terdekat kita, hanya bisa bekerja sama dalam kelompok kecil di mana semua anggotanya saling mengenal. Batas “alami” untuk ukuran kelompok yang terikat oleh gosip adalah sekitar 150 individu. Namun, fiksi memungkinkan jutaan orang asing untuk bekerja sama secara fleksibel di bawah payung mitos yang sama.
Contoh utamanya adalah sebuah perusahaan. Harari menggunakan Peugeot SA sebagai ilustrasi sebuah fiksi hukum (legal fiction). Bagaimana Armand Peugeot, seorang manusia, menciptakan perusahaan Peugeot? Dengan cara yang sama seperti para pendeta dan dukun menciptakan dewa dan iblis sepanjang sejarah: dengan bercerita. Dalam kasus Peugeot, cerita krusialnya adalah kitab suci yang disebut Kode Hukum Prancis. Menurut cerita ini, jika seorang pengacara bersertifikat mengikuti semua liturgi dan ritual yang benar, menulis semua mantra dan sumpah yang diperlukan di atas selembar kertas yang dihias dengan indah, maka—hocus pocus—sebuah perusahaan baru pun lahir. Peugeot SA bukanlah mobilnya, bukan pabriknya, bukan pula karyawannya. Ia adalah sebuah entitas legal yang hanya ada dalam imajinasi kolektif kita. Jika semua mobilnya hancur, perusahaan itu tetap ada. Namun, jika seorang hakim membubarkan entitas legalnya, ia akan lenyap seketika.
You could never convince a monkey to give you a banana by promising him limitless bananas after death in monkey heaven.
Kini, realitas yang dibayangkan ini telah menjadi begitu kuat sehingga kelangsungan hidup realitas objektif—seperti sungai, pohon, dan singa—bergantung pada belas kasihan entitas-entitas imajiner seperti negara dan perusahaan.
2. Revolusi Pertanian: Jebakan Kemewahan Terbesar dalam Sejarah
Kita sering diajarkan bahwa Revolusi Pertanian adalah sebuah lompatan besar ke depan bagi umat manusia. Harari menantang pandangan ini, dengan alasan bahwa revolusi ini justru merupakan sebuah “penipuan” atau “jebakan kemewahan”.
Bagi individu rata-rata, kehidupan sebagai petani justru menjadi lebih sulit dan kurang memuaskan. Mereka bekerja lebih lama untuk mendapatkan pola makan yang lebih buruk dan kurang bervariasi. Tubuh Homo sapiens tidak berevolusi untuk tugas-tugas ini; ia beradaptasi untuk memanjat pohon apel, bukan untuk membersihkan bebatuan dan membawa ember air. Ketergantungan pada segelintir tanaman pangan meningkatkan risiko kelaparan, dan pemukiman yang padat menjadi sarang penyebaran penyakit.
Rather than heralding a new era of easy living, the Agricultural Revolution left farmers with lives generally more difficult and less satisfying than those of foragers.
Konsep “jebakan kemewahan” menjelaskan bagaimana ini terjadi. Revolusi ini bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan serangkaian keputusan kecil yang tampaknya masuk akal. Sebuah kelompok mungkin memutuskan menanam sedikit gandum untuk cadangan. Hal ini menyebabkan ledakan populasi kecil, yang kemudian menuntut lebih banyak gandum ditanam. Secara kumulatif, kemewahan kecil ini menciptakan beban kerja yang jauh lebih berat. Setelah terjebak, tidak ada jalan untuk kembali karena populasi yang membengkak tidak memungkinkan kembali ke gaya hidup berburu-meramu.
Jebakan ini masih relevan hingga hari ini. Pikirkan tentang email dan perangkat “hemat waktu” lainnya. Ironisnya, alih-alih membuat hidup kita lebih santai, perangkat-perangkat ini justru membuat kita lebih cemas dan sibuk, terus-menerus terikat pada ritme kerja yang semakin cepat.
Sama seperti pertanian yang menciptakan realitas baru yang mengikat kita secara fisik, tatanan imajiner lainnya muncul untuk mengikat kita secara sosial. Yang paling sukses dari semuanya bukanlah kerajaan atau agama, melainkan sebuah gagasan: uang.
3. Uang: Satu-satunya Sistem Kepercayaan yang Benar-benar Universal
Bersama dengan kerajaan dan agama, uang adalah salah satu kekuatan pemersatu terbesar dalam sejarah. Namun, dari ketiganya, uang adalah yang paling berhasil. Uang bukanlah koin atau uang kertas itu sendiri; ia adalah “realitas antar-subjektif”—sesuatu yang memiliki nilai hanya karena semua orang percaya bahwa orang lain juga memercayainya.
Prinsip ini begitu kuat sehingga mampu melampaui konflik paling sengit sekalipun. Osama bin Laden, dengan segala kebenciannya terhadap budaya, agama, dan politik Amerika, sangat menyukai dolar Amerika. Contoh historis yang lebih mengejutkan: selama Perang Salib, para penakluk Kristen mencetak koin persegi (millares) yang dihiasi dengan tulisan Arab: “Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.” Orang Kristen dan Muslim yang saling membantai atas nama keyakinan mereka, sama-sama dengan senang hati menerima koin yang membawa pesan agama musuh mereka.
Money is the only trust system created by humans that can bridge almost any cultural gap, and that does not discriminate on the basis of religion, gender, race, age or sexual orientation.
Uang berhasil di mana dewa dan raja gagal karena prinsipnya sangat sederhana: uang tidak meminta kita untuk percaya pada sesuatu, tetapi meminta kita untuk percaya bahwa orang lain percaya pada sesuatu.
4. ‘Alami’ dan ‘Tidak Alami’ Hanyalah Ciptaan Budaya
Harari menawarkan sebuah aturan praktis yang provokatif untuk membedakan antara apa yang ditentukan oleh biologi dan apa yang ditentukan oleh budaya: “Biologi memungkinkan, Budaya melarang“.
Dari sudut pandang biologis, apa pun yang mungkin terjadi secara inheren adalah alami. Perilaku yang benar-benar “tidak alami”—yang bertentangan dengan hukum alam—tidak mungkin ada, sehingga tidak perlu dilarang. Tidak ada budaya yang melarang laki-laki melakukan fotosintesis atau perempuan berlari lebih cepat dari cahaya, karena secara biologis hal itu tidak mungkin.
Konsep ‘alami’ dan ‘tidak alami’ yang sering kita gunakan tidak berasal dari biologi, melainkan dari teologi Kristen, yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Menggunakan sesuatu di luar tujuan yang “dikehendaki” Tuhan dianggap “tidak alami”. Namun, evolusi tidak memiliki tujuan. Organ dapat berevolusi untuk satu fungsi tetapi kemudian diadaptasi untuk fungsi lain. Mulut, misalnya, berevolusi untuk makan, tetapi kita juga menggunakannya untuk berbicara dan berciuman.
Demikian pula, biologi memungkinkan hubungan homoseksual. Namun, beberapa budaya, yang berpegang pada mitos teologis mereka sendiri, melarangnya dengan dalih “tidak alami”. Aturan praktis Harari menunjukkan bahwa banyak norma sosial dan hukum yang kita anggap sebagai cerminan realitas biologis sebenarnya hanyalah produk dari imajinasi dan mitos budaya.
5. Sejarah Mungkin Berkembang, Tapi Manusia Belum Tentu Lebih Bahagia
Setelah ribuan tahun kemajuan—dari pertanian hingga kecerdasan buatan—apakah kita, sebagai individu, lebih bahagia? Harari berpendapat bahwa jawabannya mungkin tidak.
Dari perspektif biologis, kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh faktor eksternal seperti kekayaan atau hak politik. Sebaliknya, ia ditentukan oleh sistem biokimia yang kompleks di dalam tubuh kita—serotonin, dopamin, dan oksitosin. Setiap orang memiliki semacam “termostat biokimia” yang telah ditentukan sebelumnya, yang menjaga tingkat kebahagiaan mereka dalam rentang tertentu.
Seorang petani Prancis abad pertengahan yang selesai membangun gubuk lumpurnya mungkin mengalami lonjakan serotonin yang sama besarnya dengan seorang bankir Paris modern yang baru saja melunasi pembayaran terakhir griya tawangnya. Hadiah biokimia terikat pada pencapaian tujuan, terlepas dari skala tujuan itu sendiri. Meskipun kondisi eksternal mereka sangat berbeda, tingkat kebahagiaan subjektif mereka dalam jangka panjang mungkin tidak jauh berbeda.
Sebagai pembanding, perspektif Buddhis menyatakan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari mengejar perasaan senang yang sesaat (yang merupakan akar penderitaan), tetapi dari memahami sifat fana semua perasaan dan berhenti mengejarnya. Jika kebahagiaan terutama bergantung pada biokimia, maka sebagian besar peristiwa besar dalam sejarah memiliki dampak yang sangat kecil terhadap kesejahteraan individu.
——————————————————————————–
Penutup
Gagasan-gagasan dari Sapiens tidak hanya menyajikan fakta-fakta sejarah yang menarik; mereka membongkar fondasi cara kita memahami dunia. Buku ini menantang keyakinan kita pada realitas objektif seperti uang dan negara, mempertanyakan narasi kemajuan yang tak terhindarkan dari pertanian, mendefinisikan kembali apa itu ‘alami’ melalui lensa biologi versus budaya, dan pada akhirnya, mempertanyakan apakah tujuan akhir dari semua sejarah—kebahagiaan—telah tercapai.
Setelah 70.000 tahun menjadi penguasa planet, kita kini berada di ambang menjadi dewa dengan kekuatan untuk mencipta dan menghancurkan. Namun, dengan kekuatan dewa tetapi masih tidak tahu apa yang kita inginkan, adakah yang lebih berbahaya daripada dewa yang tidak puas dan tidak bertanggung jawab?