1. Pendahuluan: Saat “Kemajuan” Justru Jadi Masalah
Selama ini kita diajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah kunci kemakmuran. Tapi kok rasanya dunia malah makin penuh masalah? Krisis iklim, polusi, stres, ketimpangan — semua tumbuh seiring “pertumbuhan” itu sendiri.
Jason Hickel, seorang antropolog ekonomi, dalam bukunya Less is More mengajak kita berhenti sejenak dan berpikir ulang: apa benar kita butuh pertumbuhan tanpa henti untuk hidup sejahtera? Buku ini bukan sekadar kritik, tapi semacam tamparan lembut yang membuat kita sadar — mungkin selama ini kita salah paham soal “kemajuan”.
2. Kapitalisme Ternyata Bukan Kisah Pahlawan
Banyak orang mengira kapitalisme datang untuk membebaskan manusia dari feodalisme. Tapi Hickel justru bercerita sebaliknya. Ia menunjukkan bagaimana pada abad ke-14, rakyat kecil di Eropa sebenarnya sudah mulai hidup lebih layak — upah naik, jam kerja berkurang, dan mereka punya lebih banyak kendali atas hidupnya.
Masalahnya, kondisi itu bikin para bangsawan panik karena kehilangan tenaga kerja murah. Solusinya? Mereka menggusur tanah-tanah publik lewat kebijakan “enclosure” alias pemagaran. Rakyat pun kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa bekerja demi upah rendah.
Jadi, kapitalisme bukan muncul dari kemajuan, tapi dari perampasan besar-besaran. Dan pola itu masih terasa sampai sekarang: ketika sumber daya alam, hutan, dan udara kita dikorbankan atas nama “pertumbuhan ekonomi.”
3. “Pertumbuhan Hijau” Itu Cuma Janji Manis
Kita sering dengar: “Nggak apa-apa ekonomi tumbuh, kan bisa pakai energi hijau!” Tapi Hickel mengingatkan, itu cuma ilusi.
Pertama, teknologi efisien malah bikin konsumsi naik — karena biaya turun, produksi malah tambah banyak. Kedua, energi terbarukan belum bisa memenuhi permintaan dunia yang terus meningkat. Ketiga, bikin panel surya dan baterai itu sendiri butuh tambang besar-besaran yang merusak lingkungan.
Dan lucunya, banyak rencana iklim global justru menggantungkan harapan pada teknologi yang belum terbukti, seperti BECCS, yang butuh lahan seluas dua kali India untuk “menyerap karbon.” Gila, kan?
Intinya, selama ekonomi masih mengejar pertumbuhan tanpa batas, “hijau” pun bisa berubah jadi warna abu-abu.
4. Hidup Bahagia Nggak Butuh PDB Naik Terus
Kita sering merasa negara kaya pasti rakyatnya bahagia. Tapi data berkata lain. Setelah pendapatan mencapai titik tertentu, tambahan PDB tidak banyak berpengaruh pada kualitas hidup.
Contohnya Kosta Rika. Negara kecil ini punya harapan hidup lebih tinggi daripada Amerika Serikat, padahal PDB-nya jauh lebih rendah. Kuncinya? Akses kesehatan, pendidikan, dan solidaritas sosial yang kuat.
Artinya, kesejahteraan bukan soal “berapa banyak kita punya”, tapi “seberapa adil kita berbagi”. Jadi mungkin bukan pertumbuhan yang kita butuhkan — melainkan pembagian yang lebih manusiawi.
5. Akar Krisis: Kita Terlalu Lama Menganggap Alam Sebagai Benda Mati
Hickel menelusuri akar paling dalam dari semua krisis ini: cara pandang kita terhadap alam. Sejak era Descartes di abad ke-17, manusia mulai memisahkan diri dari alam. Alam dianggap mesin mati yang bisa dieksploitasi sesuka hati.
Padahal, banyak budaya tradisional melihat dunia secara berbeda: bumi sebagai keluarga, bukan sumber daya. Alam memberi, manusia pun memberi balik. Ada rasa syukur dan hormat yang menjaga keseimbangan.
Hickel mengajak kita kembali ke kesadaran itu — bahwa kita bukan penguasa, tapi bagian dari jaring kehidupan yang sama.
6. Penutup: “Kurang” Bisa Jadi Cara Baru untuk Hidup Lebih Baik
Less is More bukan sekadar buku ekonomi; ini semacam ajakan untuk hidup lebih waras. Ia mengingatkan bahwa “lebih banyak” tidak selalu berarti “lebih baik.” Dunia yang berkelanjutan hanya bisa lahir dari keberanian untuk berkata: cukup.
Mungkin inilah saatnya kita mengubah cara berpikir — bukan lagi mengejar pertumbuhan tanpa henti, tapi belajar menikmati hidup dengan secukupnya, sambil menjaga bumi tempat kita berpijak.