5 Wawasan Mengejutkan dari Dialog Tak Terduga antara Paus Fransiskus dan Sosiolog Zygmunt Bauman

October 24, 2025

5 Wawasan Mengejutkan dari Dialog Tak Terduga antara Paus Fransiskus dan Sosiolog Zygmunt Bauman

Bagaimana seorang sosiolog agnostik terkemuka, yang menghabiskan hidupnya mendiagnosis kerapuhan dunia cair kita, bisa menemukan harapan pada seorang Paus Katolik? Apa yang bisa menyatukan pemikiran seorang kritikus sosial Polandia-Inggris dengan pemimpin spiritual miliaran umat dari Argentina? Dialog intelektual antara Zygmunt Bauman dan Paus Fransiskus adalah salah satu persahabatan pikiran yang paling tak terduga di abad ke-21. Dari pertemuan ide-ide mereka, lahir wawasan-wawasan mengejutkan yang tidak hanya relevan bagi akademisi atau umat beriman, tetapi bagi siapa saja yang mencoba memahami dan menyembuhkan dunia kita yang serba tidak pasti.

——————————————————————————–

1. “Cahaya di Ujung Terowongan”: Ketika Sosiolog Pesimis Menemukan Harapan pada Paus

Zygmunt Bauman terkenal dengan konsep “modernitas cair” (liquid modernity)—sebuah diagnosis tajam tentang masyarakat kontemporer yang ditandai oleh “kerapuhan, kesementaraan, kerentanan, dan kecenderungan untuk terus berubah.” Dalam dunia cair ini, institusi, hubungan, dan identitas individu kehilangan soliditasnya, meninggalkan manusia dalam “keadaan ketidakpastian permanen yang menghasilkan segala macam kecemasan.” Analisis Bauman sering kali dilihat sebagai pandangan yang suram.

Namun, yang mengejutkan adalah bagaimana Bauman, sang diagnostik pesimis, melihat Paus Fransiskus sebagai sumber harapan yang luar biasa. Ia begitu terpesona oleh tindakan Paus, terutama kunjungannya ke Lampedusa untuk menemui para migran. Bagi Bauman, ini bukan sekadar gestur belas kasihan; ini adalah konfrontasi langsung terhadap “globalisasi ketidakpedulian” dan sistem yang menghasilkan “kehidupan yang terbuang”—konsep-konsep yang telah ia teoretiskan selama puluhan tahun. Kekaguman Bauman begitu dalam sehingga ia melihat kesejajaran historis yang kuat, menyatakan bahwa pendekatan Fransiskus adalah sesuatu yang “belum pernah kita dengar sejak zaman Yohanes XXIII.”

“Masa kepausannya tidak hanya memberikan kesempatan bagi Gereja Katolik tetapi juga bagi seluruh umat manusia.”

2. “Ekonomi Cair”: Bahasa Sosiologis yang Diadopsi oleh Vatikan

Konvergensi antara Bauman dan Paus Fransiskus bukan hanya kekaguman satu arah. Dalam sebuah validasi intelektual yang kuat, Paus Fransiskus secara aktif mengadopsi dan mengadaptasi terminologi sosiologis Bauman untuk memperkaya ajaran sosialnya. Ini adalah momen langka di mana leksikon seorang sosiolog agnostik sekuler digunakan oleh kepala Gereja Katolik di panggung dunia untuk mengkritik kapitalisme global.

Dalam pidatonya saat menerima Penghargaan Charlemagne pada tahun 2016, Paus Fransiskus memperkenalkan konsep “ekonomi cair” (liquid economy). Ia mendefinisikannya sebagai sistem ekonomi yang hanya berorientasi pada pendapatan, spekulasi, dan siap menggunakan korupsi untuk meraup keuntungan. Paus mengontraskan diagnosis ini dengan resepnya: “ekonomi sosial”—sebuah sistem yang berinvestasi pada manusia, menciptakan lapangan kerja yang bermartabat, dan melayani kebutuhan nyata masyarakat.

3. Kritik Bersama terhadap “Budaya Buang”: Saat Evangelii Gaudium Menggemakan Pikiran Bauman

Titik temu intelektual terkuat antara Bauman dan Paus Fransiskus terletak pada kritik mereka terhadap sistem ekonomi yang menghasilkan korban manusia. Bauman menyebutnya “kehidupan yang terbuang” (wasted lives), sementara Paus Fransiskus menyebutnya “ekonomi eksklusi” yang menciptakan “budaya buang” (throw away culture).

Bauman begitu terkesan dengan analisis Paus dalam dokumen apostolik Evangelii Gaudium sehingga ia mengutipnya secara ekstensif. Ia menemukan bahwa Paus telah merumuskan diagnosis moral yang paling komprehensif terhadap kapitalisme yang tidak terkendali, yang begitu selaras dengan diagnosis sosiologisnya sendiri.

“Sama seperti perintah ‘Jangan membunuh’ menetapkan batas yang jelas untuk menjaga nilai kehidupan manusia, hari ini kita juga harus mengatakan ‘jangan’ pada ekonomi eksklusi dan ketidaksetaraan. Ekonomi semacam itu membunuh… Manusia itu sendiri dianggap sebagai barang konsumsi untuk digunakan lalu dibuang.”

Komentar Bauman setelah mengutip paragraf tersebut menunjukkan betapa dalamnya kesamaan diagnosis mereka:

“Tidak ada yang perlu ditambahkan, tidak ada yang perlu dikurangi.”

4. Dialog Sejati sebagai Seni Paling Penting

Bagi Bauman dan Paus Fransiskus, keterampilan yang paling mendesak bagi umat manusia adalah dialog. Bukan sekadar perdebatan, melainkan sebuah seni praktis untuk membangun jembatan. Mengutip sosiolog Richard Sennet, Bauman mendefinisikan dialog sejati dengan kriteria yang konkret: harus “informal, terbuka, dan kooperatif.”

Bauman secara khusus menyoroti wawancara Paus Fransiskus dengan Eugenio Scalfari, seorang jurnalis ateis terkemuka, sebagai contoh utama dari dialog otentik ini. Tujuannya bukan untuk mengubah keyakinan lawan bicara (proselytizing), melainkan untuk saling memahami. Bagi mereka berdua, alternatif dari seni dialog yang sulit ini hanyalah satu: konfrontasi yang merusak.

5. Dari “Kecairan” Menuju “Kekonkretan”: Jawaban Paus atas Diagnosis Bauman

Paus Fransiskus tidak hanya mengadopsi diagnosis Bauman; ia secara eksplisit mengusulkan resep penyembuhannya. Ini adalah puncak intelektual dari dialog mereka, di mana diagnosis sosiologis dijawab dengan resep pastoral yang konkret. Dalam sebuah pidato di Universitas Roma Tre, Paus dengan jelas mengartikulasikan antitesis ini:

“…inilah masyarakat cair, Bauman telah membicarakannya sejak lama… Kita harus menerima tantangan untuk mengubah kecairan ini menjadi kekonkretan. Melawan kecairan: kekonkretan.”

Bagi Paus, “kekonkretan” (concreteness) adalah jawaban langsung terhadap “kecairan” (liquidity). “Kekonkretan” ini diwujudkan melalui tindakan nyata seperti solidaritas, pelayanan kepada yang rentan, dan membangun “ekonomi sosial” yang berakar pada realitas kebutuhan manusia, bukan pada spekulasi virtual. Dengan kata lain, Paus menawarkan sebuah resep untuk membangun kembali fondasi yang kokoh melalui tindakan nyata di tengah masyarakat yang terasa semakin rapuh dan cair.

——————————————————————————–

Dialog antara Zygmunt Bauman dan Paus Fransiskus menunjukkan sebuah konvergensi yang luar biasa: sang diagnostik agnostik yang menemukan harapan pada seorang Paus, dan sang Paus yang menemukan bahasa yang tepat untuk zamannya dari seorang sosiolog. Bauman memberikan diagnosisnya tentang dunia yang cair; Paus Fransiskus mengesahkannya dan menawarkan resep berupa kekonkretan. Aliansi intelektual yang tak terduga ini mengajukan sebuah pertanyaan mendasar bagi kita semua: di tengah dunia yang penuh perpecahan, pelajaran apa yang bisa kita petik dari kemampuan dua pemikir besar ini untuk menemukan kesamaan pandangan demi kemanusiaan?